I REALLY LIKE THIS LINK
Dua ayat tersebut,
Allah Ta’ala berfirman,
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
Amanar-rasulu bima unzila ilayhi min rabbihi wal-muminun
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman.
Kullun amana billahi wa mala ikatihi wa kutubihi wa rusulih
Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.
La nufarriqu bayna ahadin min rusulih
(Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasu-rasul-Nya,
Wa qalu sami’na wa a-ta’na ghufranaka rabbana wa ilaykal masir (285)
dan mereka berkata: Kami dengar dan taat. (Mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan Engkaulah tempat kembali.
La yukallifullahu nafsan illa wus’aha
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Laha ma kasabat wa alayha maktasabat
Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya, dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.
Rabbana la tu akhidhna in nasina au akhta’na
(Mereka berdo’a),”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.
Rabbana wa la tahmil alayna isran kama
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat
Hamaltahu alalladhina min qablina
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Rabbana wa la tuhammilna ma la taqata lanabih
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.
Wa’fu anna, waghfir lana, warhamna
Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami,
Anta maulana fansurna alal-qaumil-kafirin (286)
Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)
Disebutkan dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ بِالآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِى لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808)
Hadits di atas menunjukkan tentang keutamaan dua ayat terakhir surat Al-Baqarah.
Para ulama menyebutkan bahwa siapa yang membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah, maka Allah akan memberikan kecukupan baginya untuk urusan dunia dan akhiratnya, juga ia akan dijauhkan dari kejelekan. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa dengan membaca ayat tersebut imannya akan diperbaharui karena di dalam ayat tersebut ada sikap pasrah kepada Allah Ta’ala. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ayat tersebut bisa sebagai pengganti dari berbagai dzikir karena di dalamnya sudah terdapat do’a untuk meminta kebaikan dunia dan akhirat. Lihat bahasan Prof. Dr. Musthafa Al-Bugha dalam Nuzhah Al-Muttaqin, hal. 400-401.
Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa makna hadits bisa jadi dengan membaca dua ayat terakhir surat Al-Baqarah akan mencukupkan dari shalat malam. Atau orang yang membacanya dinilai menggantungkan hatinya pada Al-Qur’an. Atau bisa pula maknanya terlindungi dari gangguan setan dengan membaca ayat tersebut. Atau bisa jadi dengan membaca dua ayat tersebut akan mendapatkan pahala yang besar karena di dalamnya ada pelajaran tentang keimanan, kepasrahan diri, penghambaan pada Allah dan berisi pula do’a kebaikan dunia dan akhirat. (Ikmal Al-Mu’allim, 3: 176, dinukil dari Kunuz Riyadhis Sholihin, 13: 83).
Imam Nawawi sendiri menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit. Semua makna tersebut kata Imam Nawawi bisa memaknai maksud hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 83-84.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan dua ayat tersebut ketika dibaca di malam hari, “Ketahuilah para ikhwan sekalian, kedua ayat ini jika dibaca di malam hari, maka akan diberi kecukupan. Yang dimaksud diberi kecukupan di sini adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.” (Ahkam Al-Qur’an Al-Karim, 2: 540-541).
Semoga bisa mengamalkan untuk membaca dua ayat terakhir Al-Baqarah ini mulai dari malam ini. Semoga kita meraih kebaikan dan keberkahan. Semoga Allah memberi taufik.
Ada beberapa faedah yang diambil dari ayat di atas:
1- Rasul –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan orang beriman, semuanya mau beriman pada Al-Qur’an yang diturunkan dari sisi Allah. Mereka semua mau patuh dan taat pada Allah serta senantiasa meminta pengampunan dari Allah Ta’ala.
2- Rasul dan orang beriman beriman kepada Allah, malaikat, kitab, dan para Rasul tanpa membeda-bedakan satu dan lainnya.
3- Beriman kepada Allah adalah menetapkan secara sempurna tanpa ada keraguan yaitu:
- beriman akan keberadaan Allah,
- beriman bahwa Allah satu-satunya yang memiliki sifat rububiyah yang sempurna,
- beriman bahwa Allah satu-satunya illah (sesembahan) yang berhak disembah,
- beriman bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna, baik sifat yang Allah kabarkan tentang diri-Nya atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya, baik beriman secara global dan terperinci, juga menyucikan Allah dari permisalan dan penolakan dari berbagai sifat kekurangan.
4- Beriman kepada malaikat yaitu beriman secara global dan terperinci sebagaimana telah disebutkan dalam syari’at. Ada pula malaikat yang tidak kita ketahui yang juga harus kita Imani.
5- Beriman kepada kitab itu baik kitab yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui. Yang kita tahu seperti taurat pada Nabi Musa, Injil pada Nabi Isa, Zabur pada Nabi Daud, Shuhuf pada Nabi Ibrahim dan Musa. Ada pula yang tidak kita ketahui yang mesti kita imani secara global.
6- Kitab sebelumnya ada yang saling menasekh atau menghapus satu dan lainnya. Sampai semua syariat sebelumnya dihapus dengan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan Rasul.
7- Rasul adalah seorang pria yang Allah beri wahyu kepadanya dan diperintahkan untuk menyampaikannya pada manusia. Rasul ada yang diketahui dan wajib bagi kita beriman kepadanya secara terperinci, ada pula rasul yang tidak kita ketahui yang kita imani secara global.
8- Kita tidak membedakan para rasul dalam hal iman. Kita tetap beriman pada Musa dan Isa. Walaupun dari sisi keutamaan, ada Rasul yang lebih mulia dari yang lain. Begitu pula dari sisi mengamalkan syari’at itu berbeda-beda. Kita selaku umat Islam hanya menjalankan syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena syariat beliau telah menghapus syariat sebelumnya.
9- Rasul Muhammad dan orang beriman berkata, kami dengar dan taat. Maksudnya kami dengar setiap yang diperintah dan dilarang, bukan seperti orang-orang yang berkata kami dengar, lantas durhaka.
10- Ketika menjalankan perintah atau menjauhi larangan tersebut pasti ada kekurangan, karenanya disyari’atkan untuk meminta ampun terus menerus.
11- Kepada Allah-lah kita semua akan kembali, lalu akan dibalas setiap amalan yang baik dan buruk yang telah kita lakukan.
Semoga bermanfaat. Bersambung insya Allah.
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”
Sebelumnya telah dibahas faedah dari dua ayat terakhir surat Al Baqarah. Namun yang baru dikaji adalah ayat 285. Sekarang kita bahas ayat 286.
Allah Ta’ala berfirman,
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 285-286)
Maksud Ayat Secara Global
Ayat di atas maksudnya adalah manusia tidak akan diberi beban kecuali sesuai kemampuannya. Inilah bentuk kelemahlembutan dan bentuk berbuat baik Allah pada hamba-Nya.
Ketika turut ayat sebelumnya,
وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ
“Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (QS. Al-Baqarah: 284). Ketika para sahabat mendengar ayat ini, mereka merasa berat dan susah karena segala yang terbetik dalam hati akan dihisab atau diperhitungkan. Namun ayat 286 ini menjawabnya. Allah tidaklah membebankan sesuatu kecuali sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Sedangkan sesuatu yang tidak mungkin manusia cegah seperti sesuatu yang terbetik dalam hati tentu tidak jadi beban baginya.
Allah akan membalas orang yang berbuat baik dan membalas yang berbuat jelek.
Kemudian Allah akan memberi petunjuk pada manusia untuk meminta pada-Nya dalam do’a,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Do’a di atas kita rinci satu per satu.
Doa pertama:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak disiksa karena lupa atau keliru. Lupa (nisyan) adalah setelah adanya ilmu. Sedangkan keliru (khotho’) adalah ketika belum mengetahui ilmu. Khotho’ yang dimaksud dalam doa pertama adalah tidak tahu.
Disebutkan dalam hadits,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku ketika ia keliru, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Doa kedua:
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا
Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Maksudnya: Kita meminta pada Allah supaya tidak dibebani dengan beban yang berat seperti yang dialami oleh orang Yahudi dan Nashrani yang ada sebelum umat Islam.
Contohnya: Umat sebelum Islam ketika tidak ada air, mereka tidaklah shalat. Mereka tidak diperintahkan mengganti dengan tayamum. Yang ada, mereka masih punya kewajiban untuk menanggung shalat tersebut. Jika sebulan penuh tidak dapat air, lalu mendapatinya setelah itu, maka shalat-shalat yang ada tadi harus diqadha’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Muhammad, ketika tidak mendapati air seperti itu, maka diganti dengan tayamum sebagaimana disebutkan dalam ayat,
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)
Begitu pula umat sebelum Islam tidaklah boleh mengerjakan shalat di sembarang tempat. Mereka harus shalat di tempat yang khusus seperti gereja, atau di tempat yang disebut bai’, atau shawami’. Ini sungguh berat. Sedangkan pada umat Islam, tempat mana pun bisa dijadikan tempat untuk shalat selain kamar mandi dan daerah pekuburan. Disebutkan dalam hadits,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)
Tentang tata cara tayamum disebutkan dalam riwayat berikut dari hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khattab mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan kelakuanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tangan tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
Doa ketiga:
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Maksudnya: Kita meminta supaya tidak diberi beban yang tidak mampu kita memikulnya. Perkara semacam itu sebenarnya kita punya pilihan. Adapun perkara yang manusia tidak punya pilihan di dalamnya misalnya diberikan sakit dan semacamnya, jika beban tersebut menimpanya, maka ia akan diberi pahala dan akan menghapuskan dosa-dosanya yang telah lalu.
Dalam doa tersebut juga kita minta:
- Wa’fu ‘anna yaitu maafkanlah atas kekurangan dalam kita menjalankan yang wajib.
- Waghfirlanaa yaitu ampunilah karena kita telah terjerumus dalam perkara yang haram.
- Warhamnaa yaitu rahmatilah dengan memberikan taufik untuk terus bisa istiqamah.
Tiga hal yang diminta itu berarti berharap supaya dimaafkan karena lalai dari yang wajib, supaya diampuni karena terjerumus dalam maksiat dan supaya dirahmati dengan terus diberikan keteguhan (keistiqamahan).
Kemudian di akhir doa tersebut disebutkan bahwa Allah itu mawlaa, artinya Allahlah yang mengurus urusan kita, Allahlah tempat kita kembali dan Allahlah penolong kita. Lalu kita meminta tolong pada doa tersebut supaya dijauhkan dari penindasan orang kafir.
Faedah dari Ayat di Atas
1- Rahmat Allah begitu besar karena Allah tidaklah membebani kecuali yang manusia mampu memikulnya.
2- Dari ayat ini, para ulama membuat suatu kaedah fiqhiyyah yang begitu ma’ruf,
لاَ وَاجِبَ مَعَ العَجْزِ
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu.”
Contoh:
- Ketika seseorang tidak mampu bersuci dengan air karena sakit atau lumpuh atau tidak mendapati air atau khawatir sakit, bersuci tersebut beralih pada tayamum. Kalau tidak mampu tayamum karena tidak mendapati debu atau tanah untuk bertayamum, maka ketika itu ia shalat dalam keadaan tidak berwudhu dan bertayamum karena tidak ada kewajiban kala tidak mampu.
- Jika seseorang shalat sedangkan didapati najis pada pakaiannya dan tidak diperoleh pakaian pengganti, najisnya pun tidak dapat dihilangkan pada pakaian, ia tetap shalat dalam keadaan berpakaian najis seperti itu. Shalatnya tidak perlu diulangi. Menjauhi najis ketika shalat adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan. Namun kewajiban tersebut gugur ketika tidak mampu dipenuhi.
- Ketika seseorang shalat, wajib menghadap kiblat. Ketika sakit, ia tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mampu mengarahkan tubuhnya kea rah kiblat. Keadaan seperti itu mengakibatkan menghadap kiblat menjadi gugur. Orang seperti itu shalat sesuai dengan keadaannya kala itu.
- Ketika shalat tidak mampu dilakukan dalam keadaan berdiri, maka ketika itu boleh beralih ke posisi duduk. Jika tidak mampu duduk, maka beralih ke posisi berbaring ke sisi kanan atau kiri dengan menghadap kiblat. Ketika ruku’ dan sujud bisa dengan isyarat kepala. Namun saat itu tidak cukup dengan isyarat jari sebagaimana diyakini sebagian orang awam.
- Ketika seseorang tidak mampu membaca Al-Fatihah dan belum mengenalnya, maka gugur kewajiban membaca Al-Fatihah. Wajib sebagai penggantinya adalah membaca dzikir dengan tahmid, takbir dan tahlil.
- Jika wajib menunaikan zakat dan ketika itu tidak ada nuqud (uang tunai) dan tidak mampu membeli barang yang nanti dijadikan harta zakat, saat itu zakat tersebut boleh ditunda sampai mampu membeli barang tersebut.
- Puasa Ramadhan itu wajib, namun saat ini dan seterusnya tidak mampu menunaikannya karena ketidakmampuan, sebagai gantinya adalah dengan menunaikan fidyah. Fidyah yang dikeluarkan adalah memberi makan pada orang miskin dari setiap puasa yang ditinggalkan. Jika tidak mampu menunaikan fidyah, jadilah gugur kewajiban tersebut.
- Jika seseorang tidak punya kemampuan untuk berhaji, maka gugurlah kewajiban untuk berhaji.
3- Manusia berbeda-beda dalam memenuhi kewajiban. Ada yang mampu menunaikannya dan ada yang tidak mampu. Orang yang pertama menjadi wajib untuknya, berbeda dengan orang kedua.
4- Setiap orang yang beramal shalih, ia akan memperoleh balasannya. Termasuk pula seseorang mendapatkan balasan karena mengajak orang lain melakukan kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Siapa yang memberi petunjuk dalam kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut.” (HR. Muslim no. 1893)
5- Setiap orang yang melakukan maksiat, maka ia akan memperoleh balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,
لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ
“Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” (QS. An-Nur: 11). Baik dosa tersebut dilakukan langsung atau menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram. Jika menjadi petunjuk pada sesuatu yang haram, maka berarti ia mendapat bagian dari yang haram tersebut. Namun ini berbeda dengan orang yang menunjukkan pada kebaikan. Kalau orang yang menunjukkan pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan kebaikan yang semisal. Sedangkan orang yang mencontohkan pada kejelekan akan mendapatkan bagian dari dosa.
6- Karena dalam do’a disebut ‘rabbanaa’, ini menunjukkan adanya penetapan sifat Rabb atau sifat rububiyyahbagi Allah. Yang dimaksud meyakini sifat rububiyyah Allah adalah meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta.
7- Di antara adab do’a adalah memanggil Allah dengan nama Allah yang mulia yaitu Rabb. Oleh karena itu, mayoritas do’a dalam Al-Qur’an dimulai dengan panggilan Rabb.
8- Orang yang lupa dan keliru (tidak punya ilmu), maka diangkat dosa dari dirinya. Namun ada beberapa kewajiban yang ketika lupa atau keliru harus diqadha’ namun tidak disematkan dosa padanya ketika melakukannya.
Contoh:
- Orang yang berwudhu, lantas ia lupa mengusap kepala, lalu tetap shalat dalam keadaan seperti itu. Saat lupa semacam itu, ia tidak berdosa walau ia berwudhu dengan wudhu yang tidak sah. Akan tetapi, ia harus mengulangi wudhunya, juga harus mengulangi shalatnya. Jadi yang terangkat hanyalah dosanya. Namun kewajibannya tidaklah gugur.
- Ada orang yang tidak ingat shalat sama sekali karena kesibukan. Ia tidak mendapatkan dosa. Namun shalat tersebut tidaklah gugur, tetap harus dikerjakan.
- Jika seseorang salam sebelum sempurnanya shalat dalam keadaan lupa, maka ia tidaklah berdosa. Namun ia punya tugas untuk menyempurnakan shalat tersebut.
- Jika seseorang berpuasa lalu makan dalam keadaan lupa, maka dimaafkan. Ia boleh tetap melanjutkan puasanya.
Pembahasan ini insya Allah akan bersambung pada serial ketiga. Semoga bermanfaat.
“Ya Rabb kami, beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Melanjutkan kajian sebelumnya mengenai tafsir dua ayat terakhir surat Al-Baqarah. Masih tersisa beberapa faedah yang belum diungkapkan yang kali ini kita lanjutkan.
Ayat tersisa kita akan gali faedahnya,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Lanjutan Faedah
9- Orang yang keliru (tidak tahu sebelumnya), juga diangkat dosa darinya.
Contoh:
- Jika seseorang mengeluarkan zakat, ia mengira bahwa orang yang ia serahkan adalah orang fakir (miskin) namun ternyata orang tersebut adalah orang yang ghani (kaya atau berkecukupan), zakat tersebut diterima. Karena ketika ia menyerahkan, ia yakin bahwa kewajibannya telah lepas.
- Kita tahu bahwa setelah azan Jumat (azan kedua) dilarang melakukan jual beli. Jika ada yang menjual barang padahal ia punya kewajiban shalat Jumat, namun ia tidak tahu akan hukum tersebut, maka hukumnya, akadnya tetap tidak sah, namun tidak dikenai dosa karena dalam keadaan keliru (tidak tahu setelah berusaha cari tahu).
10- Allah memiliki hukum. Allah menghukumi siapa saja. Namun ada yang diberi sikap tegas dan ada yang diberikan keringanan. Di balik menjalankan hukum itu ada hikmah, baik kita tahu maupun tidak. Namun setiap mukmin hendaknya punya sikap ridha sebagaimana disebut dalam hadits,
رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا
“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul (utusan Allah), dan Islam sebagai agamaku.”
11- Allah tidaklah memberikan beban pada umatnya pada sesuatu yang mereka tidak mampu memikulnya. Bahkan agama ini sebenarnya dijadikan mudah dari segala sisi. Di awal ayat sudah disebutkan,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ini adalah pengabaran dari Allah. Lalu dikuatkan lagi pada ayat,
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya..” Ayat ini adalah doa dari orang mukmin (orang beriman).
12- Dalam ayat ini diajarkan tiga permintaan:
- Al-a’fwu (maaf) karena kurang dalam memenuhi kewajiban.
- Al-maghfirah (ampunan) karena menerjang yang haram.
- Ar-rahmah (rahmat atau kasih sayang) yaitu untuk mendapatkan pahala dari amalan dan meminta taufik untuk mudah beramal shalih.
Karenanya hendaklah setiap kita berdo’a, kita meminta tiga hal ini, yaitu meminta ‘afwu, maghfirah dan rahmat.
13- Dalam ayat disebutkan bahwa Allah sebagai ‘mawlanaa’ yaitu Allah yang menolong atau membantu kita.
Namun wala’ dari Allah (pertolongan Allah) ada dua yaitu yang umum dan khusus. Wala’ dari Allah secara umum yaitu Allah mengatur urusan setiap hamba baik yang beriman maupun yang kafir. Sedangkan wala’ dari Allah secara khusus yaitu yang diberikan pada orang beriman yaitu diberi taufik untuk beriman dan beramal shalih. Adapun yang dimaksud adalah ayat ‘anta mawlanaa’ adalah wala’ dari Allah yang khusus untuk orang beriman.
14- Dalam kalimat terakhir berisi permintaan dari orang beriman agar diberi pertolongan untuk melawan orang-orang yang kafir. Pertolongan yang dimaksud bisa jadi dengan lisan dan dengan amalan. Dengan lisan berarti lewat hujjah (argumen). Sedangkan pertolongan lewat amalan adalah dengan berperang melawan orang-orang kafir.
Berakhir sudah pembahasan faedah dari dua ayat terakhir surat Al-Baqarah. Semoga bermanfaat.
0 Response to "Keutamaan Membaca Dua Ayat Terakhir Surat Al Baqarah pada Waktu Malam"
Posting Komentar