KETIKA seseorang melakukan kebaikan namun tidak diiringi dengan keikhlasan maka bisa dipastikan bahwa ia akan senantiasa diliputi perasaan kecewa, lebih-lebih kala kebaikan yang dilakukannya tidak diapresiasi orang lain.Ia bahkan akan mengalami penurunan motivasi yang sangat drastis, hingga tidak ada lagi semangat sedikitpun untuk melakukan kebaikan.
Sebaliknya, jika ada apresiasi dari orang lain, semangat melakukan kebaikan akan kembali meningkat tajam disertai gairah yang sangat luar biasa. Akan tetapi, motivasi yang demikian, sebenarnya tidak mendatangkan apa-apa selain hanya menipu diri sendiri. Sebab, kita beramal tidak lagi karena Allah tapi karena manusia.
Padahal, Allah Ta’ala, memerintahkan kita beramal baik hanya karena-Nya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan;
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي
“Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (QS. Az-Zumar [39]: 14).
Mengenai bahasan ini, Syeikh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Dakwah Jilid I mengutip pendapat seorang inspirator dari negeri piramida, Mesir, yakni Hasan Al-Banna.
Menurut Hasan Al-Banna, ikhlas itu adalah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tapa mengharapkan keuntungan popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan dan keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.
Dengan demikian, maka sudah sepatutnya seorang Muslim senantiasa menimbang-nimbang aktivitas yang dilakukannya selama ini, apakah sudah murni karena Allah atau ada pretensi, interes, atau kepentingan semu lainnya?
Sebab jika tidak, maka amat disayangkan, amal baik yang dilakukan menjadi tidak bernilai apa-apa di hadapan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang tergambar dalam satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alayhi Wasallam.
“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari radhiyallahu anhu berkata, ‘Rasulullah pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Dan, demikianlah sesungguhnya inti dari hidup ini, yakni ikhlas karena mengharap ridha-Nya, bukan yang lain. Sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Al-Qur’an;
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah [98]: 5).
0 Response to " Ikhlas sumber kebahagiaan"
Posting Komentar